Akhirnya punya waktu juga buat buka komputer. *kretekin jari* Setelah kemarin teaser perkenalan baby Kaleb, sekarang mau cerita panjang lebar soal kelahirannya.
Here we go!
Hari Kamis, 12 Maret 2015, seperti biasa saya kontrol ke dokter. Kali ini sama Mama. Perut mulai besar, napas terengah-engah, vagina ngilu, tapi belum ada tanda kontraksi sedikit pun di minggu ke-38 ini. Ketemu dr. Benny, cek Hb yang akhirnya naik 1 poin dari kemarin 8, sekarang jadi 9,5. Normalnya 10 ke atas, sih. Tapi kata dokter lumayan lah. Jadi nggak perlu transfusi zat besi lagi. Horeee!
Kemudian cek USG, si baby beratnya naik dikit banget. Kira-kira 100 gr aja. Padahal trimester 3 itu tugasnya adalah naikin BB bayi dan emang biasanya BB bayi bertambah pesat. Lah, ini kok ngirit. Belum lagi air ketuban saya mulai berkurang, tapi masih dalam skala normal. Dokter minta saya banyak minum, 3 liter per hari tapi perasaan minum saya udah buanyak banget, deh. Lalu, dokter mengultimatum, kalau berat badan baby nggak naik pas kontrol Senin besok, maka bayinya harus dikeluarkan dengan induksi karena tampaknya bayinya nggak bisa dapat nutrisi dalam kandungan saya. Lagipula berat badan baby juga sudah cukup walaupun cukup kecil; 2,9 kg.
Udah lah ya bok, saya deg-degan setengah mati. Trus nanya ke dokter, diinduksi rasanya kayak apa? Sakit nggak? Dokternya bilang, “Kata orang sih sakit. Tapi kalau diliat dari muka suaminya sih sakit”. Kok lihat muka suaminya, sik? Dokter bilang lagi, “Iya, sakit karena dicakar istrinya yang kesakitan. HAHAHA!” And that’s my obgyn, everyone! ๐
Pulang ke rumah masih santai. Tiap hari masih jalan pagi karena kan niatnya normal, dong. Oh ya, nafsu makan saya bertambah besar. Tiap hari kira-kira ngabisin 6 choki-choki. Doyan amat, bu! Makan bisa nambah. Pokoknya nggak pake mikir deh kalau makan.
Sabtu malam masih sempat jalan-jalan ke Taman Anggrek sama suami, walaupun cuma bentar. Minggunya bahkan ngemil membabi buta, makan makaroni super pedas, dan bakmi bangka. Minggu malam, saya malah nonton Fifty Shades of Grey (yang mana sering saya skip saking membosankannya).
Baru deh, pas mau tidur mulai panik dan deg-degan. Teleponan sama suami (sejak zat besi saya yang drop itu, saya ngungsi ke rumah orang tua lagi biar bisa dipantau) dan curhat berkepanjangan kalau saya takut. Besok kira-kira saya bakal melahirkan nggak, ya? Udah siap belum, sih? Kok sampai terakhir berasanya belum siap aja. Huhuhu. Belum lagi mikirin, melahirkan normal sesakit apa, sih? Nggak kebayang banget, deh. Takut banget!
Hari Senin, 16 Maret 2015. Saya beserta rombongan: suami dan orang tua pergi ke rumah sakit. Hari itu saya udah siap bawa koper melahirkan. Siapa tahu kan, ya. Suami juga udah cuti dari kantor. Udah kayak mau berangkat perang saking rempongnya kita semua. Tapi tetap dong, di kala rempong plus deg-degan, saya masih ingat bahwa penampilan saya harus kece hari itu karena kalau sampai harus melahirkan dan difoto nggak bakal kelihatan jelek. Penting banget, seus! XD
Sampai rumah sakit langsung ke ruang observasi untuk CTG. Setelah 30 menit, hasilnya jantung baby masih baik, tidak ada kontraksi sama sekali, tapi pergerakan baby sedikit sekali: cuma 4 kali dalam 30 menit. Setidaknya harus 6 kali dalam 30 menit. Kalau kata suster, baby-nya lagi tidur. Saya cuma manggut-manggut.
Pas nunggu dr. Benny, eh si baby malah heboh gerak-gerak di perut. Ya ampun, kamu ngerjain banget, sih, nak! Nah, di minggu ke-39 ini gerakan baby makin sakit. Rasanya tiap dia gerak saya bisa mengaduh.
Ketemu dr. Benny dengan diantar suami dan Mama, saya pun di-USG. Lalu kemudian dr. Benny kaget karena air ketuban saya habis! Lho, ke mana itu air ketuban? Jadi, cuma tersisa sedikiiiit banget air ketuban di bagian tengah dengan skala 2, normalnya 6. Di samping kiri kanan udah habis blas! Dicek berulang-ulang pun, tetap sama; air ketubannya habis. Matek, nggak! Ini apa saya yang nggak ngerasa airnya rembes, ya? Tapi bener deh, nggak ada tanda-tanda seperti air ketuban rembes.
Akhirnya dokter mengultimatum, “Mi, bayimu harus dikeluarkan hari ini juga, ya. Kalau air ketubannya habis dan dia pup lalu kemakan, bisa bahaya ke bayinya”. Yasalam, aku deg-degan!
Setelah di USG, saya diminta naik ke kursi yang dulu untuk cek USG transvaginal, disuruh ngangkang (tentunya buka celana, ya *wes biyasak*), lalu dimasukin semacam alat entah apa tapi bunyinya macam dongkrak. Ternyata alat itu untuk ngecek apakah air ketuban saya rembes. Hasilnya, nggak rembes sama sekali. Jadi air ketubannya habis karena kualitas plasenta saya yang sudah tua sehingga terserap dan bayi nggak bisa nerima makanan dari saya lagi. Oleh karena itu, berat badannya nggak nambah. Oh ya, setelah turun dari kursi itu, saya nengok ke arah kiri, emang bener alat itu semacam dongkrak. Syerem! Untung nggak lihat sebelumnya.
Sepanjang nganterin saya kontrol, Bapa saya nggak pernah ikutan masuk ke ruang dokter. Tiba-tiba baru kali ini dia ikut masuk. Rame pisan di dalam ruangan. Kemudian dokter menjelaskan keadaan saya dan tindakan yang harus diambil adalah caesar hari ini juga. SHOCK!
Bapa nanya, emang nggak bisa normal, dok? Kata dokter bisa saja diinduksi, tapi nggak ada yang tahu induksi itu berapa lama. Ada yang 1 hari, 2 hari, ada yang beberapa jam saja. Kemungkinan akan berakhir caesar juga tinggi, sampai 70%. Dokter nggak mau ngambil resiko si baby keminum air ketuban karena nunggu kelamaan. Yo weislah, pasrah aja. Daripada udah sakit diinduksi, berakhir caesar juga. Sakitnya tuh di sini! *nunjuk miss V*. Yang penting baby-nya bisa lahir dengan selamat. Toh, normal atau caesar cuma soal jalan keluar lahir aja.
Reaksi saya pas harus caesar adalah, “Dok, tau gitu saya nggak usah capek-capek senam hamil dan jalan pagi, deh!”. Iyes, saya anaknya emang pemalas. Hahaha!
Saat itu jam 1 siang dan operasi akan dilakukan jam 4 sore. Saya diminta puasa makan minum dan langsung menuju ruang bersalin. Rasanya super duper takut. Untuk pertama kalinya saya akan dioperasi. I didn’t prepare at all. Tekanan darah saya sampai naik saking takutnya.
Oh ya, proses bersalin dan melahirkan berarti siap-siap buka diri. Literally, buka diri alias badan kamu, termasuk payudara dan miss V, diobral aja. Semua bisa lihat sesukanya. Hahaha! Pertama, saya harus pake baju rumah sakit, semacam kimono, tanpa bra dan celana dalam! Jadi lupakan urat malu, ya. Putusin aja. Kemudian, suster yang beda-beda akan cek entah tensi lah, cek jantung lah, cek CTG lah, ambil darah lah. Pas cek jantung, dada harus dibuka karena akan ditempelin semacam kabel-kabel yang dicubitin ke beberapa bagian badan. Sakit, bok! Belum lagi tes alergi di mana disuntik tapi rasanya perih banget. Lalu, tiba-tiba datang suster mau cukur bulu miss V. Yo weis, silahkan saja. Aku pasrah! Nggak pake malu lah sekarang. Atas bawah udah dilihatin banyak orang. Hahaha! Pada akhirnya bagian yang kamu sembunyikan selama ini toh akan diperlihatkan dengan cuma-cuma juga. XD
Di RSB Asih, suami boleh masuk ke ruang operasi. Syaratnya cuma 2: nggak boleh pingsan dan nggak boleh pake video. Kalau foto mah silahkan aja. Fiuh, lega banget bisa ditemenin suami.
Tepat jam 4 sore, saya masuk ke ruang operasi. Nggak pake didorong ya, jalan sendiri. Pertama masuk, baru tahu ruang operasi itu nggak besar, tapi dinginnya kayak di kulkas. Saya sampai menggigil. Kemudian, saya diminta duduk untuk disuntik obat bius di sumsum tulang belakang. Kemudian, saya disuruh tiduran. Kaki saya mulai menghangat dari ujung telapak kaki sampai akhirnya rasanya kebas. Eh, tapi kok ini suami saya belum kelihatan? Apa jangan-jangan lupa dipanggil? Saya mulai ketakutan.
Ternyata si suami baru boleh masuk setelah semua dokter dan suster masuk. Seperti biasa dr. Benny tetap ceria, ngelucu, tapi eike udah nggak mempan lagi. Ini MENGERIKAN! Apalagi denger suara mesin tut tut tut yang kayak di film bikin makin horor. Mau dipasang musik juga saya tetap takut, dok. Huhuhu! Karena takut dan ruangan sangat dingin, saya menggigil hebat. Dr. Benny minta suami untuk cium kening saya untuk memberi support. Ngaruh nggak? Nggak. Hahaha. Kalau disuruh udahan baru takut saya ilang kali! Kemudian, suami diminta untuk melihat bahwa obat bius udah bekerja. Entah apa yang dilihat, tapi kemudian saya tahu, pas dibelek saya udah nggak berasa lagi.
Prosesnya sih cepat, paling 15 menit. Pas mau keluar, si suami diminta memfoto prosesnya. Aduh udah deg-degan aja si suami bakal ketakutan, tapi ternyata dia hebat. Bisa foto tanpa rasa takut. Saya ngerasain ada yang didorong dan ditarik dari perut saya. Tapi si baby nggak nangis. Dokter pun tidak berkomentar apa-apa. Si baby, diikuti suami, langsung dibawa ke ruang sebelah entah untuk apa. Nggak lama kemudian, si baby nangis kenceng banget. Dokter pun langsung senyum, “Tuh, baby-nya nangis”. Saya lega luar biasa!
Nggak berapa lama kemudian, bayi dibawa ke saya untuk saya cium. Tapi proses IMD nggak bisa dilakukan saat itu juga, karena keadaan bayi yang sempat keminum air ketuban jadi dia harus langsung ke ruang observasi dan dimasukin ke inkubator selama 6-7 jam. Ini saya nggak tahu saat itu juga, tapi setelahnya.
Setelah proses bayi dikeluarin, ternyata saya tidur kira-kira sejam. Pas bangun, sekitar jam 6, dokter masih menjahit perut saya dan saya masih nggak sadar saya tadi tidur. Saya langsung ngoceh panjang lebar, ngobrol sama dr Benny. Ngobrolnya pun seperti antara mimpi dan nyata. Misalnya, saya nanya dok, kalau orang melahirkannya tengah malam harus langsung datang, dong.
dr. Benny: Iya, udah resiko profesi.
Saya: *entah nanya apa*
dr. Benny: Saya pernah nonton Transformer 2 di bioskop sampai 3 kali. Yang pertama dan kedua, saya harus keluar di tengah-tengah karena ada yang mau melahirkan. Baru deh, nonton yang ke-3 kali bisa nonton sampai habis. Hahaha.
Di tengah ngalor-ngidul itu, saya bahkan bisa sampai tahu di mana rumah si dokter. Bwahahaha, sungguh di tengah operasi pun aku kepo!
Setelah dioperasi, saya dipindahkan ke ruang operasi, dipasang infus, dan dikasih selimut penghangat. Saya terus ada di situ sampai obat biusnya menghilang atau setidaknya kaki saya udah bisa digerakkan baru nanti dipindahkan ke kamar perawatan. Di situ silih berganti tensi saya dicek, jantung saya dicek, obat bius saya dicek. Oh ya ingatlah satu hal, begitu melahirkan semua perhatian akan mengarah pada si baby dan si ibu akan dicuekin begitu saja. Hahaha!
Baru malamnya keluarga saya datang dan ngecek keadaan saya. Pertanyaan pertama saya adalah “Bayinya ke mana?”. Mereka bilang sedang diobservasi di inkubator karena dia sempat keminum air ketuban jadi paru-parunya masih harus adaptasi sekarang jadi harus dibantu selang pernapasan. Kan khawatir jadinya! Pertanyaan saya berulang-ulang, “Tapi dia nggak papa, kan?”. Dijawab nggak papa.
Saya baru dipindahkan ke kamar jam 23.00 setelah saya mulai bisa mengangkat kaki saya.
Selanjutnya, dilanjutkan ke postingan berikutnya, ya. ๐
PS: foto-foto nyusul uploadnya karena ada di HP suami semua.