Vaksin Itu WAJIB!

Huft, tahun 2017 ternyata masih ada yang antivaksin, nih?

*menghela napas sampai sesak*

Oh ya, belajar dari kasus Jupe yang terkena kanker serviks; vaksin serviks itu udah ada lho dari dulu dan mampu mencegah kanker serviks. Idealnya perempuan umur 11 tahun sudah bisa vaksin serviks. Jadi dari masa puber lebih baik. Tapi kalau dulu nggak tahu, bisa juga dipake sebelum berhubungan seksual. Tapi kalau misalnya sudah berhubungan seksual, cek papsmear dulu, ya. Baru kalau hasil papsmearnya bersih, lanjut vaksin serviks.

Ini pengalaman saya vaksin serviks 6 tahun lalu, sebelum menikah. Permasalahannya adalah banyak yang enggan untuk papsmear atau vaksin serviks karena pertanyaan dari tenaga medis adalah, “Mbak sudah menikah atau belum?”. Err! Begini lho, vaksin serviks itu sebaiknya dilakukan sebelum aktif berhubungan seksual, terlepas dia sudah menikah atau belum. Papsmear sebaiknya dilakukan 1-2 tahun kalau sudah berhubungan seksual secara aktif, lagi-lagi terlepas dia sudah menikah atau belum.

Jadi pertanyaan sudah menikah atau belum dari tenaga medis akan jatuhnya menghakimi. Misal, dia jawab belum menikah tapi mau papsmear, yang mengindikasikan berarti sudah berhubungan seksual sebelum menikah. Lalu pandangan si tenaga medis akan berubah dan judging. Bikin pasien jadi nggak nyaman dan akhirnya enggan untuk balik lagi.

Saya sadar di Indonesia normanya adalah belum berhubungan seksual sebelum menikah. Tapi pada kenyataannya ADA yang sudah berhubungan seksual sebelum nikah. Dan apakah yang sudah berhubungan seksual sebelum nikah tidak boleh mendapatkan perlakuan medis yang baik, tanpa ada tatapan menghakimi?

Akan jauh lebih baik  kalau tenaga medis tidak perlu memperhalus pertanyaan dengan “sudah menikah atau belum?”, tapi langsung straight to the point, “sudah berhubungan seksual aktif atau belum?”. Dan nggak perlu kepo jugalah kalau sudah berhubungan seksual berarti dia sudah menikah. Keep it simple, no judgment. Pasien juga pastinya lebih nyaman karena dia akan di-treat berdasarkan keluhan, bukan dihakimi moralnya.

Nah, soal antivaksin pada anak. Prinsip saya cuma satu, kalau itu terbaik untuk anak dan membuat anak saya lebih sehat, serta secara ilmiah sudah terbukti, let’s do it! Berusaha jadi alamiah, tapi habis itu mengorbankan kesehatan anak is a big NO for me. Plus, vaksin itu bukan cuma soal imunitas diri sendiri tapi imunitas kelompok. Harapannya suatu saat kalau semua anak sudah divaksin, maka penyakit tersebut punah. Nah, para dokter seluruh dunia udah gencar mau bikin punah itu penyakit, trus kucuk-kucuk orang sok tahu bilang nggak usah vaksin lalu anaknya terkena penyakit. Maleh, kapan itu penyakit punah jadinya? Kan jadi outbreak lagi. *nangis di pojokan*

Gini ya, nggak perlu sok anti kimia. Udara yang kita hirup setiap hari aja itu kimia, namanya oksigen alias O2. Gimana caranya bisa anti kimia buat anaknya kalau udara aja sudah berbentuk zat?

Jangan bilang penyakit dan kesembuhan dari Tuhan. IYA emang dari Tuhan. Tapi Tuhan juga menciptakan manusia dengan akal budi jadi harus juga berusaha menjaga kesehatan dan berusaha juga untuk makan obat ketika sakit. Baru deh Tuhan yang menentukan mau disembuhin atau nggak. Kalau vaksin aja nggak mau, ya wajar aja Tuhan kasih penyakit. Lagian kalau emang penyakit dan kesembuhan dari Tuhan, kalau lagi sakit nggak perlu berobat ke dokter, ya. Cukup berdoa aja. Nanti imanmu  yang menyembuhkan. Oke sip!

Jadi jadi orang tua itu harus bijaksana. Saya termasuk yang sebisa mungkin anak nggak pakai obat kalau emang nggak perlu sakitnya, saya juga berusaha bijaksana dalam penggunaan antiobiotik, tapi saya tidak anti dengan obat dan antibiotik. Kalau misal anaknya sakit batuk pilek sampai tahap sudah tidak nyaman, nggak bisa tidur, nggak mau makan, trus saya maksa nggak pake obat dan bergantung pada minyak esensial aja, ya berarti saya egois. Tentu saja obat to the rescue lah. Tujuannya bukan soal pake obat atau nggak, tapi soal anak merasa nyaman karena ia sehat.

Jadi ibu itu harus bisa fleksibel. Tidak ada satu teori parenting yang paling benar. Semuanya cocok-cocokan dan disesuaikan dengan kondisi anaknya juga. Makanya jadi ibu itu nggak ada sekolahnya, lah wong prakteknya bisa beda-beda tiap anak, kok. Tapi yang pasti, fokusnya adalah anak. Logical reasonsnya pun harus benar. Patokan saya: kalau sudah ada penelitiannya berarti valid. Jadi, antivaksin is a big no. Gunakan nalar yang benar, bukan cuma soal keyakinan membabi buta.

Yuk, barengan vaksin biar sama-sama sehat. Jangan sampai nanti nangis-nangis panik pas anaknya sakit karena nggak vaksin kayak mbake itu loh. 😀

 

 

Salam Olahraga

Waktu saya kecil, orang tua saya suka sekali membawa saya nonton pertandingan olah raga. Entah itu tenis, sepak bola, tenis, bulu tangkis, dsb. Mereka berdua suka banget olahraga dan rutin berolahraga. Mama dua kali seminggu main tenis dan kalau tidak main tenis senam di gym. Bapa juga main tenis dan golf.

Mereka berharapnya anak-anaknya juga suka olahraga. Makanya waktu saya TK, saya sudah les renang 3 kali seminggu. Kemudian besaran dikit tenis tapi tidak bertahan lama karena saya nggak suka. Saya melenceng malah suka bulu tangkis dan didukung dengan dibelikan raket dan kok, serta ditemani main tiap hari. Yes, tiap hari.

Selain itu, di halaman rumah ada ring basket. Bukan cuma jadi hiasan aja, tapi kami rutin main basket. Kalau kami bisa memasukkan bola basket ke ring sampai 5 kali berturut-turut, kami dapat hadiah uang. Nggak seberapa sih uangnya. Tapi kan anak kecil suka banget dapat tambahan uang jajan. Hehe.

Saya masih ingat kalau weekend diajak jalan-jalan senang banget. Ealah, ternyata berakhir di lapangan tenis nonton tenis. Buat anak kecil rasanya… wakwaaaaw! Pertandingan tenis itu adalah salah satu yang membosankan buat saya karena penontonnya harus tenang, nggak boleh berisik, kalau nggak nanti ditegur wasit. Bosan sekali. Tapi karena mau nggak mau harus menonton, jadi ya akhirnya saya menonton, bertanya bagaimana sistem penilaiannya, siapa pemainnya, dan berakhir dengan…. wow, ini seru banget, ya!

Kalau ada pertandingan besar, seperti Sea Games di Jakarta, sudah pasti kami menonton. Waktu itu saya ingat sekali lagi tergila-gila dengan bulu tangkis jadi Bapa saya mengajak nonton bulu tangkis. Senangnya minta ampun! Sebelum masuk ke ruang pertandingan, saya dibelikan kaos berlogo Sea Games dan spidol supaya nanti bisa minta tanda tangan atletnya.

Saya masih ingat dengan jelas bagaimana mata saya berbinar-binar waktu lihat Mia Audina, Joko Suprianto, Ricky Subagdja, dan pemain-pemain favorit lainnya di depan mata. Sambil nonton mereka main, tiap ada atlit favorit yang sekiranya lagi ikutan nonton atau lewat, saya langsung sigap meminta tanda tangan. Saya ingat banget kaos saya penuh dengan tanda tangan atlit, tidak pernah dicuci, dan cuma jadi hiasan saja. Bangga!

Kalau ada Piala Dunia, Bapa yang tergila-gila dengan sepak bola mengajak kami ikut keseruannya. Misalnya menebak angka gol dari suatu pertandingan, nonton bareng sambil makan mie instan tengah malam. Akhirnya saya yang nggak suka bola pun mulai paham dengan sepak bola. Sampai akhirnya saya punya klub bola kesukaan, atlit bola favorit, dan rela bangun tengah malam kalau ada pertandingan besar kayak World Cup atau Euro Cup.

Jadi sampai sekarang kalau ada pertandingan yang seru, Bapa pasti ngingetin. Kayak kemarin pertandingan final bulutangkis ganda campuran Indonesia di Olimpiade #Rio2016. Duh bahagianya waktu mereka menang itu sama kayak bahagia pas Ricky-Rexy menang Olimpiade Atlanta dulu. Merinding, terharu, senang, lega, bangga! Semua perasaan positif jadi satu.

Saya berharap banget suatu hari nanti Kaleb suka olahraga, nonton olahraga, dan akan sangat menyenangkan kalau bisa ajak dia nonton olahraga langsung seperti saya dulu.

Salam olahraga!

Balada Zat Besi

Minggu lalu setelah senam hamil, saya cek lab darah rutin. Dokter minta hasilnya di hari Kamis. Setiap disuruh cek lab, selalu deh deg-degan. Kayak mau terima rapot aja, takut hasilnya penuh angka merah. Terakhir cek lab di trimester pertama hasilnya baik-baik aja, sih. Saya cuma takut aja gula darah naik karena akhir-akhir ini saya suka makan manis.

Hari Kamis, saya ketemu dokter. Dia udah menerima hasil lab saya. Baru aja saya duduk, dia langsung berkata dengan serius bahwa Hb saya cukup rendah; nilainya 8 dengan normalnya 12. Dokter curiga Hb yang rendah ini disebabkan zat besi yang rendah. Dengan Hb yang rendah, darah saya bisa jadi encer dan sulit untuk dihentikan nantinya. Sementara proses persalinan pasti akan berdarah, mau normal atau caesar. Takutnya saya pendarahan, susah distop, dan harus transfusi darah. Sampai sini, saya shock. OMG! Mungkin mata saya udah melotot macam di sinetron dan kamera zoom in dan zoom out mengarah ke muka saya. Jadi saya diminta untuk cek zat besi. Kalau memang rendah, saya harus transfusi zat besi supaya siap menghadapi persalinan karena udah nggak mungkin lagi kekejar dengan makanan. Oh, oke. Ngikut aja sih apa kata dokter.

Itu rasanya horor banget. Seumur-umur jarang bermasalah sama kesehatan, bahkan selama hamil ngerasanya sehat banget. Sampe 37 minggu masih gagah berani naik bis ke kantor, naik turun tangga, jalan-jalan ke mall berjam-jam, nggak pernah flu sedikit pun. Pokoknya berasa super sehat. Tapi hasil lab berkata lain. Karena dasarnya gampang panik, saya malah sibuk googling tentang zat besi dan Hb, hasilnya makin panik. Malah malamnya sampe mimpi buruk. Zzz!

Hari Sabtu, saya kontrol ke dokter lagi sekalian ambil hasil lab. Pas buka hasil lab-nya: zat besi saya 2 dengan angka normal 11. JENG JENG JENG!! Rendah banget. Shock tahap 2. Ini kenapa sama badan saya?

Begitu masuk ke ruang dokter, dokter pun terkejut dengan hasil yang rendah. Dia nanya, apakah selama ini saya merasa pusing, lemas, gampang capek? Yah, pusing sih tapi biasa aja. Bukan yang tiap saat pusing. Lalu dokter nanya, “Sering merasa lemot nggak?”. Gue, “Errr… iya, dok”. Dokter, “Nah, itu salah satu tandanya karena oksigen nggak masuk ke otak jadi lemot”. BHAY, malu amat dibilang lemot!

Zat besi yang jadi rendah itu biasanya emang dialami ibu hamil di trimester terakhir, makanya selama ini dokter kasih saya vitamin penambah zat besi tiap hari, tapi kurang mempang buat saya. Kemungkinan besar karena bayinya rakus banget jadi semua zat besi diambil si baby. Oh, dari dalam kandungan aja si baby udah bakat jadi Iron Man. Nanti kamu gantiin Robert Downey Jr ya, Nak. X)

Akhirnya saya diminta untuk transfusi zat besi 2 ampul saat itu juga. Nggak harus nginep sih, tapi prosesnya selama 5 jam dan habis itu masih harus CTG. Sementara saat itu udah mulai malam. Jadi kemungkinan kelar semua dilakukan jam 12 atau jam 1 malam. Busyet! Dokter menganjurkan untuk nginep aja biar nggak kemalaman. Tapi saya nggak mau soalnya takut. Hihihi. Oh, kemudian dokter pesan supaya jangan kecapekan dulu. Yang kemudian saya jawab, “Tapi besok saya banyak acara, dok. Ke ulang tahun keponakan dan ke mall”. Pasien suka ngeyel emang begini bikin dokternya pusing. Hahaha! Lalu yang paling utama yang saya tanyakan adalah, “Selama ditransfusi, saya bisa makan nggak sih, dok? Saya laperan.” Bwahahaha, ini penting banget.

Saya diminta mengisi informed consent, lalu di bawah ke ruang observasi. Disuruh ganti baju pake semacam baju kimono dari rumah sakit dan tiduran. Sebelum mulai prosesnya, udah telepon orang tua dan mertua buat ngabarin, yang disambut dengan kehebohan takut kenapa-kenapa. Yang mana saya malah sibuk minta dibawain cemilan. Hihihi. Mertua minta saya untuk nginep aja di rumah sakit daripada harus subuh pulang. Mendingan istirahat di RS dan dapat perhatian penuh.

Terakhir dirawat di RS adalah pas kelas 5 SD pas typhus. Nah, berpuluh tahun nggak pernah dirawat di RS, sekarang harus diinfus 2 ampul ya panik juga. Soalnya seingat saya diinfus rasanya nggak enak. Benar aja, pas dimasukin jarum ke tangan, jadi susah gerak sambil merasa sedikit nggak enak. Mana alat yang canggih banget bikin saya susah pipis ke toilet karena tiap ke toilet, alatnya berhenti saking sensitifnya dan ngeluarin bunyi alarm kencang banget. Zzz. Jadi males pipis.

Yang warnanya kayak darah itu zat besi. Prosesnya 5 jam karena harus 2 ampul

Yang warnanya kayak darah itu zat besi. Prosesnya 5 jam karena harus 2 ampul

Dini hari dicek CTG

Dini hari dicek CTG

Jadi gimana rasanya nginep di RS? Menderita, kakaaak! Saya tipe orang yang susah tidur di tempat lain kecuali di rumah. Di hotel yang bagus aja saya susah tidur, apalagi di rumah sakit. Kebayang deh, saya pasti nggak tidur. Apalagi suster bolak-balik ngecek infus, ngecek jantung baby, dan cek-cek lainnya. Makin nggak bisa istirahat, deh. Karena tangan kiri diinfus dengan selang yang nggak terlalu panjang, jadi tidur pun cuma bisa miring ke satu arah, ke kiri doang. Kebayang deh, sepanjang malam badan saya kaku dan pegel. Sementara suami yang nungguin pun nggak dapat posisi yang enak buat tidur jadi dia nggak bisa tidur nyenyak pula. Jadilah, jam 5 pagi kita malah kebangun dan makan ayam McD yang dibawain mertua. Hahaha!

Puji Tuhan, selain zat besi yang kurang (dan harus dicek lagi hari Kamis ke lab, dan kalau kurang transfusi lagi), hasil CTG masih baik: jantung dan pergerakan baby oke, belum ada kontraksi.

Karena khawatir dengan keadaan saya dan udah hamil tua banget, saya pun diminta cuti oleh Mama dan mertua. Sekarang pun udah ngungsi ke rumah Mama untuk perbaikan gizi dan kalau ada apa-apa lebih gampang monitornya. Doakan semua baik-baik saja, ya. Semoga dalam seminggu-dua minggu ini si baby udah lahir dengan sehat dan selamat. 🙂

#menujusehat2014

Sebagai orang yang dari kecilnya sering disebut kurus kering *kasian, ya*, saya nggak pernah bermasalah dengan berat badan. Nggak pernah pantang makan dan nggak pernah olahraga juga, badan tetap kurus *jumawa*.

Karena itulah, saya jarang memperhatikan asupan makan yang masuk, ditambah ngobil ngemil yang gila-gilaan. Apakah berat badan nambah drastis? Nggak, sih, paling nambah 3 kg aja setelah menikah. Diet dikit juga turun lagi. Tapi masalahnya bukan itu.

Masalahnya nggak bisa dipungkiri kalau dengan pola hidup kayak gini saya nabung bibit-bibit penyakit. Contohnya aja nih, kalau PMS itu badan bisa sakitnya minta ampun, gampang pusing, gampang flu, dan menurut dokter waktu itu, hormon saya nggak seimbang. Penyebabnya sih bisa banyak hal, tapi terutama karena gaya hidup yang kurang seimbang. Ya iyalah, makan asal-asalah dan nggak pernah olahraga gini mau ngarep apa. Oh ya, ditambah perut buncit sampai bikin males liatnya.

Waktu ke Bali kemarin, saya hampir nggak bisa naik tangga di Pantai Padang-Padang. Napas ngos-ngosan, hampir pingsan. Saya sampai harus berhenti dulu, duduk sambil ngatur napas. Dua setengah tahun lalu waktu saya ke sana, saya bisa naik tangga itu nggak pake berhenti dan nggak merasa mau pingsan gini. Berarti dalam 2,5 tahun kesehatan saya jauh menurun, kan? Ini dibuktikan dengan saya ngepel rumah yang nggak besar aja udah ngos-ngosan kayak habis maraton. Parah banget.

Pulang dari Bali, saya ngukur berat badan saya. Secara berat badan masih normal aja, tapi body fat-nya 29. Sementara batas sehatnya adalah 30. Berarti sedikiiit lagi saya udah dinyatakan nggak sehat, kebanyakan lemak. Bayangin, badan sekurus saya tapi lemaknya di mana-mana. Belum lagi metabolic age saya jauuuuh di atas usia saya. Dengan kondisi yang kayak gini, no wonder daya tahan saya udah kayak orang jompo.

Rasanya kayak langsung ketampar. I didn’t take care myself well. Apa mau tuanya sakit-sakitan? Ih, jangan sampai dong, ya.

So, I told my hubby that I needed to work out. Dia sih semangat banget karena emang suka olahraga. Sementara saya yang mendingan tidur daripada olahraga ini ketakutan banget. Di hari saya mau daftar jadi anggota gym selama 3 bulan, saya ragu-ragu banget. Sampai harus ngiterin komplek rumah 3 kali dan akhirnya bilang aduh entar dulu deh.

Kenapa sih takut? Soalnya saya tahu saya nggak suka olahraga. Menurut saya nggak ada enak-enaknya. Makanya saya takut nggak bisa berkomitmen sama gym ini. Tapi di lain sisi, saya tahu saya harus olahraga. Banget. Bukan untuk ngurusin badan, bukan untuk nambahin otot, tapi supaya badannya sehat. Cuma itu sih motivasi saya.

Akhirnya setelah disemangati suami dan mama, kemarin saya daftar gym berdua suami (oh, plus si mama juga). Di hari pertama nge-gym, saya berhasil nge-gym selama 1 jam. Rasanya kayak mau pingsan. But I survived, lho. Hihihi. Ditambah lagi seharian itu masih beraktivitas. Ternyata saya kuat.

Oh ya selain nge-gym saya juga udah 2 minggu ini ngatur makanan banget. Makan rebus-rebusan, panggang, sayur, dan buah. Sebisa mungkin cuma sedikiiit minyak. Kalau lagi pengen ngemil, saya makan crackers yang jauh lebih rendah kalorinya dan lebih sehat juga. Kalau weekend baru deh agak longgar sedikit.

Lebih ribet dan butuh usaha sih iya banget. Harus bangun lebih pagi untuk masak, walaupun capek kerja harus olahraga. Tapiii… yang bikin semangat adalah…. pagi ini saya nimbang dan semuanya membaik:
Berat badan kembali ke berat sebelum nikah (horeee), body fat turun 3% jadi 26% (still need to lose some though), dan metabolic age turun jadi 23 (whoaaa, sebelumnya metabolic age saya jauuuh di atas umur saya, ehm.. sekarang udah jauh di bawah).

Nah, jadi mari melanjutkan program #menujusehat2014 yuk!

 

Ngalor-Ngidul

Setelah dua minggu yang lalu sakit, akhirnyaaa bisa merasakan bangun tidur kepala enteng, badan segar, dan nggak pusing. Health is priceless! Padahal sakitnya nggak berat (yeah, sekarang sih bisa bilang gitu), cuma radang tenggorokan, tapi disertai demam (2 hari), batuk, dan flu berat (seminggu). Waktu belum sembuh benar harus masuk kantor karena pasiennya banyak banget dan udah nggak bisa di-handle sama teman juga. Belum lagi ada beberapa pasien ngomel karena jadwal mereka di-cancel. Hiks, maafkeun! Tiap malam minta si suami olesin minyak kayu putih dan kerokin. Ahahaha, baru tahu kalau kerokan ampuh banget, deh.

Sempat hari Minggu masih merasakan badan nggak enak banget, bangun tidur kepala rasanya berat. Jadi mutusin kembali minum obat dan tidur. Dasar nggak betah seharian di rumah, siangnya segaran dikit langsung merengek ke suami minta diajak jalan-jalan. Jadilah jalan ke Grand Indonesia. Aduh, happy banget. Cuma 2-3 jam di mall, kembali mendadak kepala pusing dan mual. Haduh! Langsung merengek lagi sama suami supaya pulang buru-buru. Di mobil udah nggak karuan rasanya. Sampe rumah minum tolak angin, dikerokin, langsung tidur. Ringkih!

Jadi begitu, badan sehat, nggak pusing, dan (paling penting, nih) nafsu makannya balik. Hore banget, deh! Bisa makan apa aja itu surga. Eh, tapi pas sakit kemarin kan nggak nafsu makan, bikin perut yang tadinya buncit jadi mengempes. Duh, berkah di saat sakit ini, mah. *elus-elus perut*

Selesai sakitnya, eh si anjing kesayangan malah lagi mens *glek*! Jadi usia Mika udah 8,5 bulan. Emang jadwalnya mens anjing kan dimulai dari 6-14 bulan. Untuk anjing tipe besar kayak Golden Retriever dia muncul di bulan ke 8-9. Pas banget, deh.

Tapi nggak kayak manusia, anjing ini nggak ada tanda-tandanya. Eh, ada deh. Jadi pas lagi sakit itu kan saya diem di rumah. Dari depan kedengeran kok kayak ada yang goyang-goyang pagar. Pas dilihat, eh ada anjing tetangga yang beda blok mampir ke rumah. Waktu itu liatnya, “Awww, manis sekali Mika disamperin temannya”. Nah, siangnya Mika nemenin saya di dalam rumah. Pas dia lagi duduk, tiba-tiba…..criiit…. kok keluar merah-merah gitu? Yes, darah dari mensnya Mika.

Langsung dong panik. Soalnya dari artikel-artikel yang dibaca, kalau udah mens itu bisa hamil (yang mana saya nggak mau dia hamil karena nggak bisa ngurusin anak-anaknya nanti) dan bakal banyak disamperin anjing jantan. OALAH, pantesan aja tadi dia disamperin.

Udah deh, si Mika langsung dapet perhatian ekstra. Mensnya sih nggak terlalu ngerepotin karena nggak kayak manusia yang deras banget keluarnya, kalau anjing cuma sedikit-sedikit dan nggak tiap saat. Tapiii…. langsung menarik perhatian anjing jantan ini lho yang bikin heboh. Tiap hari ada aja anjing tetangga yang samperin Mika. Malah puncaknya kemarin, ada 4 anjing tetangga entah siapa yang bergantian datang ke rumah. Begitu cek di Mbah Google, ternyata kalau anjing betina mens, baunya akan menarik perhatian anjing jantang sampai jarak 2 km! Bayangin 2 km itu jauh bangettt! Plislah, anjing jantannya dijaga baik-baik di rumah, jangan dibiarin keliaran di luar gini *kekep Mika*. Udah lah ya, habis mensnya selesai steril aja. Oh ya, ditambah lagi mens anjing itu durasinya 2-3 minggu! Lama banget, kan? Tapi emang sih cuma 2 kali setahun aja. Semoga mensnya cepat selesai, yaa. Udah masuk minggu ketiga sih ini. Chayoooo! *pasang gembok baja*

Oh ya, kemarin ke Ace Hardware. Niatnya sederhana, ada dispenser idaman di situ. Yang dimaksud idaman adalah, standing dispenser yang harganya kurang dari Rp 1 juta (biasanya kan harganya Rp 1 jutaan ke atas) dengan model dan warna yang bagus. Soalnya ada yang merk Miyako, harga sih murah ya cuma Rp 400 ribuan untuk standing dispenser, tapi warnanya itu lhooo… hijau terang bikin sakit mata. Hiks, ya mbok desainernya kasian gitu sama yang pengen beli tapi nggak jadi karena sebel liat warnanya (itu gueee).

Dulu saya pake dispenser yang kecil karena ya itu tadi… murah, bok. Saya dan suami bukan tipe yang suka air dingin jadi nggak perlu yang ada pendingin, yang penting ada air panas karena kita sukanya air hangat (dan malas masak air. Hihihi). Waktu itu beli merk Kirin dengan warna biru mencolok. Nggak tahu sih kenapa beli itu. Kemungkinan karena baru nikah jadi beli yang murah aja. Yang murah kan warnanya jelek. Jadilah si Kirin dibawa ke rumah. Hehehe!

Nah, pas pindah rumah, nggak ada meja untuk naro si dispenser ini. Satu-satunya tempat yang tersisa dan memungkinkan adalah persis sebelah KOMPOR. Uyeaah, pinter banget, ya. Si Mama dan mertua sih udah bilang ini nggak papa ditaro di sebelah kompor, nanti panas dan meledak, lho. Dengan pinternya, saya yakin nggak bakal meledak karena…. kalo masak nggak usah pake kompor yang pas sebelah dispenser tapi yang ujung satunya lagi. Jadilah selama setahunan ini, saya kalau masak cuma pake 1 kompor ganti-gantian. Ribet, cyiiin!

Udah masak pake 1 kompor, si dispenser tetap aja rusak. Suatu hari… dia mulai retak tapi semua masih berfungsi dengan baik. Cuek! Lama-lama, lho kok ada air menggenang dekat dispenser. Apakah rumah ini bocor? Tapi kalau diliat-liat sih nggak, ya. Ah, cuek lagi! Beberapa lama kemudian, menggenang lagi dan sekarang air panasnya nggak bisa nyala. Hiks! Jadilah beberapa minggu kalau mau air panas, harus masak.

Mau entar-entar aja belinya, tapi minggu depan ada kebaktian di rumah. Gimana nasib mau bikin kopi dan teh? Masa pas tamu-tamu datang harus masak air panas. Dih, ribet! Ya udah meluncur ke Carrefour, cari yang standing dispenser. Ada nih yang disuka, merek Denpoo. Harga di bawah Rp 1 juta, desain minimalis. Cocok! Pas diminta, eh produknya lagi kosong. Katanya entah kapan masuk. Yah! Karena keukeuh harus di bawah Rp 1 juta dan pilihannya cuma dikiiit banget jadi ya mau nggak mau nunggu sampe barangnya ada aja.

Kemudian jalan-jalan ke Ace Hardware, dispenser lagi dipamerin. Wuih, ada yang merk Krisbow harga di bawah Rp 1 juta, desain minimalis putih semua. Masyuuk, cyin! Tapi.. tapi… sayang ya beli dispenser mahal. Ya udah nggak jadi beli. Tapi tiap ke Ace Hardware cabang yang lain, tipe yang itu selalu habis. Haduh, hati kan ketar-ketir ya takut kehabisan. Emang rempong eike! Jadilah kemarin langsung meluncur ke Ace Hardware Puri dan kekepin itu dispenser yang ternyata sisa satu ajah! HORE!

Ceritanya kalau di Ace Hardware mata kan selalu gatel liat-liat, ya. Nyasar ke bagian perlengkapan makan seperti gelas. Eh, eh…. kok sekarang banyak desain pop art di Ace? Ada gelas, milk bottle, bahkan sampe jam dinding! Jam dindingnya keceee banget tapi harganya Rp 700.000! Mak, masa seharga dispenser? Hih! (tapi dalam hati mupeng). Udah sempat masukin milk bottle (yang sebenarnya sangat nggak butuh) dan gelas kopi pop art (juga belum butuh) ke keranjang. Harga keduanya masih masuk akal. Tapi karena takut shock sakit jantung di kasir pas bayar tiba-tiba jadi sejutaan, jadi ya dengan hati pedih balikin lagi pernak-pernik pop art itu ke tempatnya. Kemudian menatap suami dan bilang, “Kalo udah gajian tolong ingetin aku untuk beli gelas dan milk bottle tadi. Aku pengeeeen!”. Teteeeup, drama! 😀

Eh, ini ngomong apa sih dari tadi nggak ada topik utamanya. Oh, tentu nggak ada. Karena ini Senin, jadi harus melakukan sesuatu yang menyenangkan dulu sebelum kerja *kemudian liat jam udah jam makan siang*. Happy Monday, people! 😀

Belum Waktunya

Di sini saya pernah cerita tentang saya yang lagi ngecek kondisi rahim ke dokter. Bukan karena hamil, ya. Tapi karena belum hamil juga. Di bulan April itu, nggak dilakukan tindakan apa-apa, cuma dikasih vitamin aja biar alami. Hasilnya, bulan itu saya nggak hamil.

Bulan depannya, saya melanjutkan pemeriksaan. Kali ini diprogram. Jadi H+3, +7, +18 setelah mens saya harus periksa ke dokter untuk lihat perkembangan sel telurnya. Waktu itu, saya bela-belain datang pagi-pagi ke dokter ditemani Mama, habis itu langsung balik ke kantor lagi.

Setiap datang ke dokter dan di-USG hasilnya selalu baik. Sel telur berkembang dengan semestinya. Bahkan pas masa subur, telurnya ada beberapa yang ukurannya sesuai untuk ovulasi. Supaya pas ovulasinya, saya pun suntik pecah telur (yang mana mahal amit, yee). Selain disuntik, saya pun harus minum obat hormon yang harus sama jamnya. Itu perjuangan banget, deh. Kadang-kadang di tengah meeting keluar cuma buat minum obat, atau kalau lagi di pesta teteep bawa obat buat diminum tepat waktu. Biar nggak telat, saya pasang alarm pas siang dan malam hari. Saya jadi bawel harus makan sebelum minum obat, yang mana kadang-kadang situasinya nggak mungkin. Kalau situasinya lagi nggak mungkin buat makan, ya udah saya minum obat tanpa makan.

Waktu masa subur, dokter bilang hasilnya bagus dan dikasih jadwal berhubungan. Ish, saya langsung gembira berbunga-bunga, dong. Pasti jadi, nih. Semua perintah dokter dilakukan dengan baik.

Lewat masa subur mulai deh berhati-hati biar nanti jadi bayi. Jalan hati-hati, makan hati-hati, nggak mau kecapekan. Pokoknya semua hati-hati. Menjelang H+30, kok ya nggak menunjukkan gejala hamil. Badan tetap fit, nggak pusing-pusing, nggak mual, nggak bolak-balik pengen pipis. Pokoknya biasa banget, deh. Udah deh mulai pesimis kayaknya gagal lagi.

Tepat di H+30, mens datang pas saya lagi di kantor. Itu udah nggak kebendung lagi gimana meweknya saya. Rasanya hati hancur berkebing-keping. Ekspektasi udah setinggi langit, dokter bilang udah bagus, tapi.. tapi… kenapa gagal juga.

Saya langsung bbm suami ngasih tau kalo saya mens. Dia pun ikut sedih. Hari itu saya yang harusnya pulang jam 6 sore, nggak kuat lagi nunggu selama itu akhirnya ijin jam 5 sore pulang. Sampe rumah, langsung masuk tempat tidur dan mewek lagi. Sediih, mak! Ini kok kayaknya susah amat mau hamil, padahal orang-orang kok ya hamil kayak ngeluarin telur. Gampil!

Untungnya punya suami yang lebih nggak gampang down dibanding saya. Dia pun peluk-peluk saya, beliin makanan, dan biarin saya tidur lebih awal.

Berkali-kali saya bilang dalam hati, belum waktunya dikasih. Waktunya mungkin buat senang-senang pacaran berdua dulu. Semudah-mudahnya untuk berusaha ikhlas dan pasrah, kenyataannya itu susaaah banget. Lebih susah lagi waktu si Mama nanyain gimana hasilnya dan saya harus dengan sok cool-nya bilang lagi mens, tuh. Kenapa nggak curhat aja? Because I would cry like a baby and that was the last thing I wanted to do. Menceritakan betapa sedihnya saya waktu itu sungguh bikin hati tercabik-cabik, sih. Melihat orang menunjukkan empatinya dan kemudian mengasihani saya malah bikin saya makin sedih. Jadi  waktu itu saya memutuskan untuk (pura-pura) cool dan seperti biasanya aja.

Setelah dua bulan mencoba (dan cukup bikin saya stres), akhirnya kami memutuskan untuk berhenti dulu ke dokter. Istirahat dari segala treatment yang bikin capek mental dan fisik. Milih untuk bersenang-senang dulu dan tetap berdoa, serta meyakini mungkin emang belum waktunya. 🙂

So yes, semoga lain kali ada berita bahagia, ya. 🙂

Alergi

Setelah mengetahui bahwa saya punya alergi alkohol seperti yang diceritakan dulu, akhirnya saya menemukan satu alergi lagi. Banyak amat Neng alerginya.

Sabtu kemarin, saya pesta Batak pake kebaya. Udah pede jaya karena kebayanya baru (baru dipermak tepatnya). Berasa cantik banget lah pokoknya. Hihihihi. Seperti biasa lah, pesta Batak kan lamanya minta ampun. Siang-siang udah ngantuk dan capek, tapi pesta masih panjang. Badan udah mulai gerah karena udara panas banget, cing! Eh, nggak lama kemudian malah hujan deras kayak badai! Serem!

Pas hujan, badan saya udah mulai gatel. Mungkin karena kebaya yang ketat mencetit. Tapi nggak bisa digaruk karena ya kan pake bustier, digaruk juga nggak kerasa, bok!

Baru sampai rumah jam 7 malam langsung deh buka kebaya. Pas dibuka, alamak bekas kebayanya nyeplak dan bikin bentol. Langsung deh saya mandi dan olesin minyak tawon.

Besok paginya, saya ngecek badan bentolnya udah ada di sekitar pinggang sampe paha, cuma nggak gatel. Oh, gpplah ya paling entar kempes sendiri. Jadilah seharian itu saya pergi. Pas sore mau pulang, hujan deras lagi dan saya ada di mobil pake AC. Di situ mulai gatel-gatel sekitar leher. Sampai rumah pas dicek, lehernya udah bentol dan bentol-bentol di sekitar pinggang dan kaki makin banyak. Makin malam, bentolnya menjalar ke sekitar badan dan bahkan muka! *nangis*

Langsung deh googling. Tadinya mikir ini gara-gara kebaya yang ketat tapi kok sampe besokannya nggak ilang bentolnya. Di google bilang bentol kayak gitu biasanya diakibatkan alergi udara dingin. HAH? Kalau diingat-ingat, si mama juga punya alergi yang sama persis. Tiap udara dingin, badannya langsung bentol-bentol. Saya langsung tanya teman saya yang suaminya dokter dan confirm sudah kalau itu emang alergi udara dingin. Yasalam!

Akhirnya dibeliin obat Incidal dan susu Bear Brand sama suami. Disuruh langsung cepat tidur biar sembuh. Sementara doi beberes rumah. Baiknyaaa! *kecup*

Besok paginya bentol udah pada kempes, tapi kepala masih kliyengan. Karena takut kambuh lagi kalau masuk kantor dan disembur AC, maka hari itu memutuskan istirahat di rumah. Katanya kalau badan lagi drop, alergi jadi lebih gampang kambuh. Jadi ya sudahlah, hari itu di rumah tepar seharian. Untungnya bentolnya nggak kambuh lagi, paling cuma satu-dua.

Kalau alergi udara dingin gini, gimana cita-cita tinggal di negara salju? *packing ke Timbuktu*

Demi!

Halo Pak Dokter (lagi)!

Hari ini, tepat di masa subur, saya disuruh balik untuk cek kondisi sel telur dan dinding rahim. Nah, karena itu di weekdays, Pak Dokter bilang jam 16.00-19.00 dia praktek di PacHealth Plaza Indonesia. Oh, baiklah mari kita ke sana.

Supaya cepat, pulang kantor saya langsung naik busway. Saya langsung naik ke lantai 7 tempat PacHealth berada. Begitu keluar dari lift langsung disambut dan ditanyakan keperluannya. Saya pun diantarkan ke resepsionis. Kesan pertama adalah berasa di hotel berbintang 5. Ruangannya luas, bersih, dan mewah.

Yang terlintas pertama kali di pikiran saya, “Ini berapa biayanya?”. GLEK! Tapi muka sih sok iye aja.

Setelah registrasi dan difoto untuk kartu member (yang kayaknya mikir sejuta kali buat berobat ke sana lagi), saya pun diantarkan ke bagian obgyn. Haish, ruang tunggunya aja keren: sofa embuk, karpet halus, dan banyak majalah ibukota. Saya langsung dilayani perawat untuk tensi dan timbang badan. Ehm, tapi peralatannya masih manual, bok! Beda sama RS Bunda yang tensi dan timbangannya udah digital.

Setelah cek, saya ditanya, “Mau minum apa, Bu? Air putih, teh, kopi, atau jus?”. Bingung deh saya. Ini minuman gratis atau bayar. Kebayang nggak mahalnya berapa kalo bayar. Ya udah, saya pun cuma pesan air putih hangat. *kekep dompet erat-erat*

Nunggu nggak terlalu lama, saya pun dipanggil ketemu Pak Dokter. Lagi-lagi USG Trans V (dan lagi-lagi saya tetap tegang. Hahaha!). Kata Pak Dokter, dinding rahim udah pas tebalnya (yeay!), endometrium bagus, sel telur saya banyak, tapi…. kecil. Kalau dilihat cuma ada 1 tel telur yang besar, yang lainnya kecil dan belum memadai untuk ovulasi. Tapi si Pak Dokter kelihatan positif-positif aja mukanya. Jadi saya pun nggak takut.

Si Pak Dokter nyuruh saya minum vitamin E Enurol. Lalu dia bilang berharap aja sel telur akan membesar setiap hari, jadi dia memberi rencana tanggal berapa aja harus berhubungan. Kalo bulan ini belum berhasil, maka bulan depan disuruh balik lagi untuk disuntik pecah telur. HAISSSH! Plis, berhasil aja, dong!

Setelah selesai konsul, ditanya perawat vitaminnya mau dibeli di situ atau nggak. Oh, tentu saja nggak. Takut mahal, bok! Nanti beli di apotik langganan aja, deh.

Keluar dari ruang konsul, saya diantarkan ke meja kasir. Mulai deh ya, harap-harap cemas bayarnya berapa. FYI, dari tadi pasien yang saya temukan bule semua. Kebayang kan kira-kira tarifnya berapa. Yak, pas disebutin totalnya Rp 610.000 untuk konsul dan USG. *kesambar petir* *tapi berusaha cool* *dalam hati senyum miris*.

Anyway, hasil foto USG di PacHealth juga nggak terlalu jelas kayak di RS Bunda. Kalo di RS Bunda, foto USG-nya jelas banget dan dapat 3 print yang berbeda. Sementara di Pac cuma dapat 1 print dan nggak jelas pula itu fotonya.

Oleh karena itu, saya memutuskan lebih baik kabur dari kantor bentar demi ke RS Bunda aja, deh. Ini mahalnya sih keterlaluan amit! Tapi demiiii si baby, ya. Demi banget! 😀

Doakan bayinya muncul di perut, ya! 😀

Cek dan Ricek Lagi

Setelah bulan lalu sempat cek lab, maka Kamis kemarin saya dan suami pergi ke obgyn untuk cek lagi. Sebenarnya udah dari hasil lab keluar, kita udah mau cek cuma ya karena bulan kemarin saya beberapa kali harus travelling dan kerjaan padat jadi si suami juga nggak bisa cuti, maka pas awal bulan ini bisa langsung ngegeret suami biar nemenin ke obgyn.

Oh ya, karena program bikin anaknya berdua suami (ya iya dong, masa sendiri aja), maka udah dari awal cek lab juga berdua dan ke obgyn juga berdua. It takes two to tango kan, ya. 😀

Untuk cari obgyn yang sesuai hati juga susah. Karena saya kerja di bidang kesehatan, jadi saya pengen obgyn-nya harus sabar, ramah, dan komunikatif. Jadi saya nggak mau obgyn yang buru-buru dan nggak sabar menjelaskan ke pasien. Big NO NO banget!

Nah, sehari sebelumnya Mama bilang ada dokter yang bagus di RS Bunda, namanya dr. Ivan Sini. Hal pertama yang saya lakukan adalah googling tentang si dokter dan nanya beberapa teman yang pernah konsultasi di RS Bunda. Semua review-nya positif. Dr. Ivan ini disinyalir ganteng, baik, selalu memberi sugesti positif, dan berdedikasi sama pekerjaannya. WEW, klop lah ya sama kriteria eike! 😀 Dan ternyata pulak, si bos pas program bayi tabung ya dengan dr. Ivan ini. Langsung deh nggak ragu lagi. Soalnya si bos kan orangnya concern banget sama pemilihan dokter (yaeyalah, dese kan dokter juga).

Langsung saya telepon ke RS Bunda Menteng. ALAMAAAAK, jadwal dr Ivan penuh terus. Minggu ini ke luar kota, minggu depan praktek sih tapi Senin-Sabtu full pasien, 2 minggu ke depan ke luar negeri, dan bahkan sampe awal Mei pun masih ke luar kota/negeri. GLEEEK! Rupanya banyak penggemarnya.

Okeh, kayaknya kelamaan ya nunggu sampe pertengahan Mei. Maka dari itu, nanya lagi ke teman-teman mana dokter yang oke. Sejauh ini komentarnya adalah rata-rata dokter di RS Bunda ini oke. Akhirnya saya coba dr Taufik Jamaan yang teman saya pernah konsul sama dia juga. Oh, tentu dong saya googling dulu nama dia. Hasilnya, banyak komentar positif. Katanya orangnya sabar banget dan komunikatif. Oke marilah kita langsung tanya jadwal dia. Kebetulan banget di hari Kamis itu masih ada jadwal kosong di jam prakteknya yang cuma 1 jam itu (BOS, bentar amat prakteknya).

Hari Kamis itu saya udah siap-siap berangkat 2 jam sebelum appointment. Nggak mau telat, bok! Waktu itu dia praktek di BIC (Bunda International Clinic), masih sejajaran dengan RSIA Bunda.Begitu sampe, eh ngeliat banyak banner program kelas kantor saya. Lah, ternyata RS Bunda ini kerja sama dengan kantor saya. Bahkan itu banner yang ngerjain si suami. HOALAAAH, kok saya nggak tau, ya? *toyor diri sendiri*. Langsung deh bilang ke suami, “Ish, it’s a sign, deh!” Hihihi.

Pas masuk disuruh isi form registrasi, di mana harus menyerahkan fotokopi KTP suami-istri dan surat nikah (yes! Harus ada surat nikah –> agak janggal, ya). Nunggu 10 menit, langsung dipanggil perawat untuk data kesehatan dan timbang. Nggak lama nunggu langsung deh ketemu Pak Dokter.

Dr. Taufik ini pas awalnya biasa aja, malah mukanya datar. Tapi jangan salah, pas ngobrol, eh dia bisa ngelucu juga. Bikin saya dan si suami nggak jadi tegang. Dia langsung menerangkan proses kehamilan itu gimana dan nanya beberapa hal mengenai menstruasi. Setelah itu saya diminta untuk USG Trans-V (udah khatam sekarang).

Pas USG, dia minta si suami juga ikut ngeliat. Dia jelasin detil banget mengenai kondisi rahimnya gimana (yang mana katanya dinding rahimnya tipis dan sel telurnya belum membesar). Tapi dia nyuruh kita untuk mencoba alami aja dulu. Biasanya masalah kayak gitu karena ketidakseimbangan hormon yang disebabkan banyak hal, mostly sih karena lifestyle dan stres. Oke deh kakak, jadi nggak boleh stres, ya. Pak dokter cuma kasih 2 jenis obat untuk 5 hari ke depan (karena masa subur saya 5 hari lagi) yang gunanya untuk mempertebal dinding rahim dan mempersiapkan kehamilan (progynova dan natavit).

Setelah itu, saya kasih hasil lab pak suami ke dia. Dia pun ngasih obat Prolibi untuk mempercepat jalannya sperma suami. Itu pun dikasih untuk 5 hari aja sampe masa subur saya.

dr. Taufik ini emang sabar banget, ya. Secara saya banyak nanya. Obatnya pun satu-satu saya tanya gunanya apa. Dan dia jelasin semuanya dengan baik dan lucu. Pak suami pun langsung jatuh hati karena kesabarannya dan dia pun jadi banyak nanya juga. YEAY! 😀

Untuk biaya sendiri, sebenarnya udah diperkirakan range harganya jadi nggak terlalu shock. Mungkin satu-satunya yang bikin shock adalah obat suami yang cuma 5 butir kecil tapi harganya paling muahal.

Berikut perinciannya:
Clinic administration fee ___ Rp 50.000
USG ___________________ Rp 175.000
New patient administration _ Rp 35.000
Consultation and treatment _ Rp 250.000

Obat:
Prolibi _________________ Rp 296.500
Progynova 2 MG _________ Rp 70.000
Natavit _________________Rp 42.000

Jadi totalnya: Rp 918.500

Benar kan obat suami bikin shock harganya. Si Prolibi ini hampir Rp 300.000 untuk 5 butir kecil obat. *meringis*. Semoga ampuh, ya. Semoga sperma-nya jadi juara lari sedunia. Semoga bisa membuahi sel telur, yeee.

Oke, mari tunggu sampe si masa subur datang *siramin sel telur pake vitamin*. 😀

 

 

Creambath

Pulang liburan kemarin, badan langsung remuk redam gara-gara kecapekan. Biasalah ya kalo liburan kan yang ada hura-hura dan fisik dipakai maksimal buat jalan-jalan seharian. Pas di sana sih nggak kerasa capek sama sekali, eh pas di pulang langsung deh ambruk.

Karena cuti beberapa hari, begitu masuk kantor langsung disambut dengan banyak laporan. Nggak sempat leha-leha. Sampai rumah pasti langsung tepar. Jam 9 malam pun bisa tidur kayak pingsan. Pagi-pagi bangun dalam keadaan capek,  badan sakit, dan radang tenggorokan. Gila lah itu rasanya.

Sampai kemarin, saya hampir nggak bisa bangun tidur karena sekujur badan sakit semua. Padahal saya udah tidur 8 jam. Tenggorokan pun sakit. Saking nggak bisa bangunnya, saya minta tolong suami untuk bikinin sarapan. Pegal banget!

Kayaknya udah nggak bisa dibiarkan, nih. Akhirnya saya bertekad untuk creambath supaya bisa dipijat-pijat kepala, punggung, dan tangan. Kenapa nggak pijat seluruh badan aja? Karena sebenarnya saya cuma butuh dipijat bagian punggung dan kepala, sekalian udah lama banget nggak creambath.

Hari itu, saya langsung ngebut beresin semua laporan supaya jam 5 sore tepat saya bisa langsung ngacir ke salon dekat kantor. Nama salonnya Gue Loe, terletak di Jalan Wolter Monginsidi, depan Total Buah. Norak ya nama salonnya. Hihihi! Tapi jangan salah, ini salon favorit banget, deh. Saya udah 4 kali creambath di sini, pijatannya nggak ada yang nggak enak. Pilihannya cuma enak dan enaaak banget. Saya juga udah 2 kali potong rambut dan hasilnya memuaskan. Dia bisa bikin rambut saya nggak keluar-keluar dan tetap bagus walau udah nggak diblow lagi. Selain itu, di lantai 2 salon ini emang ada tempat spa and massage yang pijitannya juara! Harganya juga bersahabat banget dibandingkan salon-salon lain di sekitar Wolter Monginsidi yang terkenal mahal.

Kemarin saya dicreambath sama Mas Dudung. Awalnya pas pegang kepala saya rasanya biasa aja, cuma terasa keras, sih pijitannya. Tapi makin lama, makin mantap, terutama pas ke bagian tengkuk, leher, dan punggung. GILAAA, saya langsung merem-melek saking enaknya. Mas Dudung ini nggak banyak ngomong (me super likey) dan lebih banyak bekerja. Dia juga tau titik-titik pegel saya dan yang bagian pegal pasti dipijit ekstra lama sama dia. Bagian tangan juga dipijit dan itu rasanya mantap! Selesai bagian tangan, eh dia balik lagi ke punggung dan leher. Aduh si Mas ini tau aja ya kalo seluruh otot-otot saya tegang dan badan pegal-pegal? Total creambath dan pijat adalah 1,5 jam. Itu belum diblow, ya. Jadi sama blow kemarin saya menghabiskan waktu 2 jam di salon. Surga banget, deh! 😀 😀

Sehabis dipijat, badan rasanya enteng banget dan energi langsung kembali. Si suami pun menyadarinya. Selama perjalananan pulang saya ngoceh terus tanpa kecapekan dan sampai rumah pun masih sempat cuci piring, beres-beres, dan siapin bahan untuk masak besok pagi.

Pagi ini saya bahkan bisa bangun jam 5 pagi dengan keadaan segar bugar. Habis bangun, saya langsung masak. Bukan hanya sekedar masak, tapi masak 2 jenis masakan! Ambisi banget, yak! Hihihi. Habis itu siapain sarapan, masak nasi, dan cuci piring segambreng bekas masak. Masih ada energinya? Masih, dong. Jadi saya pun beres-beresin kamar dan ruang tamu, serta menjemur baju. Canggih, berasa super woman, deh.

Ini efek creambath yang positif karena pijitannya dahsyat, ya. Tapi sekali waktu saya pernah creambath yang nggak enak banget. Saya tuh termasuk orang yang bisa menerima semua pijatan. Nggak complain, deh. Nah, waktu itu creambath di dekat rumah. Ini salon udah sering saya datangi tapi biasanya buat kebutuhan make up dan hair do kalo pagi-pagi mau pesta. Hari itu diajak Mama lah ke salon ini buat creambath. Oke deh, kita coba.

Awalnya saya dapet capster masih muda yang baru ngeramasin saya aja udah kerasa pijatannya enak banget. Tapi kemudian si pemilik salon yang udah akrab banget sama Mama menyuruh si capster ini untuk creambath si Mama aja karena tenaganya lebih kuat. Sementara saya dapat capster cowok yang udah tua. Sekitar umur 40an, deh.

IT WAS LIKE HELL! #nangisberuraiairmata

Pijatannya sungguh nggak terarah. Lemas sih nggak, kerasa kuat, sih, tapi kayak dipijat pake tulang-tulangnya. Sakit banget! Saya udah bilang pelanin pijatannya tapi tetap nggak ngaruh. Setiap pijatannya berasa kayak pijatan setan. Sakit parah banget. Mau bilang stop aja tapi kasian bapak itu karena dia lagi asyik ngobrol juga sama si Mama. Ya udah akhirnya saya tahan aja. Setiap menit berasa kayak tahunan.

Benar aja, besokannya badan saya yang tadinya baik-baik malah jadi pegal setengah mati! Sakit semua dari atas kepala sampe punggung dan tangan. Menyebalkan! Dalam hati berjanji kalo saya nggak akan ke salon itu untuk creambath lagi. Terutama sama si bapak itu.

Kalau kamu punya pengalaman creambath seperti ini?