About Raising Kid

Kira-kira seminggu yang lalu, saya kedatangan seorang pasien bersama anak perempuannya yang berusia sekitar 3 tahun, beserta baby sitter-nya. Anak perempuan ini, sebut saja Niki (bukan nama sebenarnya) sebenarnya cukup menggemaskan; kulitnya putih, rambutnya kayak Dora, dan chubby. Pengen dicubit-cubit gemes, deh. Tapi hal itu tidak terjadi karena……..MASYA AMPUN BANDELNYA. *elap keringet*

Ceritanya si Ibu ini akan dihipnoterapi, yang mana butuh ketenangan dan fokus di ruangan, sementara si anak hobinya merengek-rengek dan nggak mau keluar ruangan. Dari awal saya udah menjelaskan kepada si Ibu bahwa anak tersebut sebaiknya di luar agar proses terapinya berjalan lancar. Si anak nggak mau dan si Ibu hanya bilang, “Ayo, Niki, keluar ya” dengan suara pelan. Ya, anaknya merengek nggak mau. Jadi selama proses breathing si anak malah keukeuh duduk di pangkuan si Ibu sambil ribut. Tentu saja, sebagai terapis saya nggak bisa konsen juga dan mulai nggak sabar…..tapi harus ditahan.

Proses selanjutnya adalah masuk ke sugesti yang mana harus banget tenang karena lampu akan dimatikan dan dia akan melakukan semacam meditasi. Saya tegaskan lagi kalo si anak harus keluar. Sekali lagi si Ibu menyuruh anak ini keluar dengan pelan. Si anak tadinya nggak mau keluar, tapi untungnya dia mau ke WC jadi harus keluar diantar baby sitter. Akhirnya! *sujud syukur* Supaya anak ini nggak ganggu lagi, saya kunci pintu ruangan terapinya.

Suasana udah mulai tenang. Lampu dimatikan. Si ibu mendengar alunan musik untuk relaksasi melalui headphone. Tapi, nggak lama kemudian, si anak datang dan mau masuk. Ya nggak bisa masuk karena saya kunci. Si anak mulai tantrum. Dia gedor-gedor dan nendang-nendang pintu dengan kencangnya, ditambah teriak-teriak, dan guling-guling di luar. Si baby sitter tak berdaya. Si ibu nggak mendengar karena dipasang headphone. Saya yang mendengar dari dalam mulai deh emosi jiwa sama anak ini. BOK, nakal banget! Tapi mungkin lebih emosi ke ibunya karena dia nggak bisa tegas dan menetapkan boundaries ke anaknya.

Setelah terapi selesai, si anak langsung lari ke dalam ruangan. Sementara ibunya lagi diurusin perawat, anak itu mendekati saya dan menanyakan satu per satu alat yang ada di situ. Oke deh, anak kan emang sifatnya pengen tau jadi masih saya jawab. Tapi kemudian, dia gratakan. Dia pegang alat-alat itu, semacam elektroda, buka-bukain semuanya, dan hampir saja memasukkan elektroda itu ke air garam, yang mana nggak boleh karena akan merusak. Saya pun melarang, “Jangan dipegang, ya. Bahaya.” Dia nggak dengerin dan tetap berantakin. Apa yang dilakukan si ibu? Diam aja. Sementara saya rasanya pengen cubit anak ini saking emosinya.

Di akhir terapi, saya kasih si Ibu coklat Kit Kat dan memintanya merasakan sensasinya sebagai bagian terapi. Si anak yang lihat ikutan minta tapi si Ibu menolak. Eh, dia ngamuk lagi. Guling-guling di lantai sambil teriak sampai si Ibu harus kasih coklatnya. *geleng-geleng*

Waktu itu rasanya antara kesal sama anaknya, tapi lebih kesal lagi sama Ibunya. Kenapa sih si Ibu nggak tegas melarang? Kenapa dia ‘kalah’ sama anaknya?

Belajar teori psikologi perkembangan di kampus dan punya beberapa klien yang bermasalah setelah dewasa karena orang tua nggak bisa menetapkan boundaries, bikin saya merasa orang tua yang harus menetapkan peraturan-peraturan dasar di awal kehidupan si anak. Tegas itu penting. Tegas itu bukan berarti ngamuk-ngamuk dan maki-maki anak nggak jelas, ya.

Saya sempat ngetwit soal ini di twitter, lalu seorang teman yang nggak dekat-dekat banget, bilang ke saya, “Anak tuh nggak boleh dibilang ‘jangan’ soalnya nanti bikin dia nggak kreatif.” Buat saya nggak juga, deh. Kalo dia nggak pernah dilarang untuk hal yang penting nanti dia nggak kenal batasan.

Lalu si teman itu bilang, “Lo nggak boleh bilang gitu. Entar karma, lho, anak lo begitu. God works in ɑ mysterious way. Hehehe!”

WHAT?

Udah nggak kenal, nyumpahin anak saya bakal kayak gitu, trus sebenarnya dia nggak tahu apa-apa soal ngurus anak lagi. Ini apa, sih?

Saya emang belum punya anak. Tapi nggak berarti saya nggak tau soal ngurus anak sama sekali. Dua tahun lalu, keponakan saya yang asli dari RRC tinggal di rumah saya selama setahun. Umurnya 8 tahun. Orang tuanya broken home. Ayahnya di Cina, ibunya di Jakarta, hidup terpisah dengan dia karena dia milih tinggal dengan keluarga saya. Si anak punya trauma mendalam karena pernah dipukuli dan ditelantarkan selama tinggal di Cina. Sementara ibunya sibuk mengobati luka hatinya dan punya perasaan bersalah yang amat mendalam dengan anak-anaknya sehingga dia nggak pernah memarahi anak-anaknya sama sekali. Pernah saya lihat si anak jambak rambut ibunya sampai keras, si ibu cuma bilang, “No, sweet girl. No, ya.” Ya mana dilepaslah itu jambakan.

Jadi kebayang kan pas dia baru tinggal di rumah saya gimana dia nakal dan nggak punya aturan. Mama saya aja sampe stres ngadepinnya. But I love my niece. Waktu balita, dia pernah datang ke Jakarta dan dia manis dan lucu sekali. Lingkungan dan trauma yang mendalam membentuknya seperti itu.

Sewaktu tinggal di rumah, saya mulai mengajarkan banyak peraturan ke dia dari A sampai Z. Gimana harus jadi sopan dan ngucapin kata-kata dasar seperti thank you, sorry, dan excuse me. Susahnya minta ampun karena dia hanya mengerti bahasa Inggris dan Mandarin, tanpa mengenal tulisan latin.

Kita mengajarkan dia mengenai rules. Nggak gampang. Dia cuma tahu bebas dan nggak kenal aturan. Entah berapa kali dia melanggar dan bersikap nggak sopan. Kalo dia udah nakal minta ampun, sampai rasanya pengen cubit. Tapi saya bukan orang tuanya dan saya merasa nggak punya hak cubit dia. Jadi yang saya lakukan adalah time out.

Ketika dia nakal, dia akan diberi time out. Misalnya, dia berantakin ruangan dan nggak beresin walaupun udah dibilangin, saya akan menyuruh dia ke pojok ruangan menghadap tembok dan memikirkan mengenai kesalahannya. Dia akan berdiri si situ tergantung tingkat kesalahannya, misal 15-30 menit. Setelah waktunya selesai, saya akan mendatangi dia dan nanya tau nggak kenapa saya menghukum dia. Biasanya dia sudah tau. Lalu saya menjelaskan bagaimana seharusnya dia bersikap dan bertanya apakah dia menyesal. Lalu dia akan meminta maaf dan saya akan memeluknya.

Apakah dengan sekali hukuman bisa beres? Nggak juga. Berkali-kali dia dapat hukuman dan time out. Tapi dia selalu mendapat penjelasan kenapa dia dihukum dan bagaimana seharusnya dia bersikap. Selain hukuman, dia juga dapat cinta yang besar dari kami.

Saat kembali ke rumah ibunya, tentu saja dengan peraturan yang berbeda, ibunya bilang dia jauh lebih baik sikapnya dibanding awal datang. Tapi anehnya, dia jauh bersikap lebih baik kalo ada di rumah saya. Oh iya, ibunya masih merasa bersalah jadi bersikap lembek ke anaknya.

Tadinya saya takut dia akan trauma nih datang ke rumah saya karena we put such hard discipline for her. Kenyataannya tiap liburan dia selalu minta nginep di rumah saya dan walaupun banyak peraturan, tapi dia merasa senang karena perhatian yang kami berikan juga sama banyaknya.

Mungkin saya belum punya anak, tapi saya pernah mengasuh anak yang berlatar belakang trauma dan nakalnya minta ampun, jadi saya lumayan punya pengalaman. Kalau ada yang bilang, “Lo kan belum punya anak, jadi lo nggak tau.” No, I do know. Saya tau betapa sulitnya membesarkan anak, saya tau betapa melelehnya hati ini waktu si anak memberikan muka memelas saat seharusnya dia dihukum, saya tau ngasih peraturan itu sulit, saya tau membuat dia disiplin itu butuh kita sendiri sebagai pelaku contoh.

Jadi kalo dibilang nggak boleh bilang jangan ke anak kecil, oh tentu liat sikon dulu, dong. Terusin aja nggak pernah bilang jangan and you turn your kids into monsters that people hate.

My mom once told me, “Kalo kamu punya anak, ajarin anaknya untuk disiplin. Jangan jadi anak yang disebelin orang lain. Yang kalo datang ke rumah, kita harus kunci pintu kamar dan masukin barang-barang berharga karena takut dia gratakan.”

Yes, kamu tau kan anak-anak seperti itu. Yang loncat sana-sini, rusakin barang di rumah kita, dan orang tuanya nggak bilang apa-apa atau cuma bilang, “Jangan, ya” tapi nggak bersungguh-sungguh melarang. Sebel kan sama anak-anak seperti itu? Nah, itu yang terjadi kalo setiap saat kamu nggak berani bilang jangan. Monsters.

Suami saya pernah bilang kalo saya punya anak saya akan jadi ibu yang tegas, just like my mom. Hahahaha, itu mungkin saja. Mama saya itu ibu yang tegas banget, tapi dia juga ibu yang gaul. Anak-anak yang didiknya nggak ada yang bandel. Walaupun dulu kami kesal juga kenapa banyak banget aturan di rumah ini. Tapi setelah gede baru berasa manfaat disiplin yang diterapkan si mama. Setidaknya saya dan adik-adik saya nggak pernah jadi anak yang dibenci orang karena suka gratakan di rumah orang. Katanya dulu kami manis dan suka diajak nginep di rumah orang. Hihihihi.

Eh, ini postingan panjang banget, ya. So, parents, do educate your kids, make them know the rules, and pour them with lots of love. It’s okay to say no to them. It’s okay to let them wait before they get what they want. Oh ya, please be open minded. 🙂

Leave a comment